Serat Darmawasita merupakan karya sastra yang dikarang oleh KGPAA Mangkunegara IV dari Keraton Surakarta. Serat ini ditemukan dalam kumpulan “Serat Warna-warni” yang ditulis pada 1878 M atau 1607 caka oleh KGPAA Mangkunegara IV. Naskah asli “Serat Darmawasita” ditulis menggunakan aksara Jawa Kuni menggunakan Bahasa Jawa.
Serat Darmawasita ini terdiri dari tiga pupuh Sekar Macapat yaitu Dhandhanggula, Kinanti dan Mijil. Di dalam Serat Darmawasita memiliki ajaran yang dikmas dalam bentuk tembang yang ditujukan kepada anak-anak Mangkunegara IV yang sudah berumahtangga agar mereka dapat menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik. Secara garis besar, Serat Darmawasita berisi tentang ajaran-ajaran moral dalam berumah tangga baik itu sebagai suami maupun istri.
Pengertian Serat Darmawasita
Serat Darmawasita merupakan karya sastra berbentuk tembang macapat yang terdiri dari 3 pupuh Sekar Macapat yaitu Dhandhanggula 12 bait, Kinanti 10 bait dan Mijil 20 bait. Serat ini ditulis oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkuengara IV (KGPAA Mangkunegara IV) pada 1878 Masehi dalam kumpulan “Serat Warna-warni”. Serat Darmawasita berisi ajaran moral berumahtangga, contohnya seperti bagaimana cara memilih pasangan hidup, hal yang dipersiapkan sebelum nikah, dan sebagainya.
Siapa Pembuat Serat Darmawasita
Serat Darmawasita dibuat oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IV. KGPAA Mangkunegara IV merupakan putra ketujuh dari Pangeran Hadiwijaya I dan Bandara Raden Ajeng Sekeli (Putri Mangkunegara II). Mangkunegara IV lahir di Surakarta 1 Safar Jumadil Akhir 1736 jawa (3 Maret 1809 masehi).
Raden Mas Sudira adalah nama kecil dari KGPAA Mangkunegara IV, dimana berusia belia diyakini memiliki kelebihan dan dijuluki sebagai pujangga linuwih.. Beberapa jabatan yang pernah dijabat Mangkunegara IV yaitu prajurit Legiun Mangkunegaran, ajudan sekaligus Mahapatih urusan ndalem Praja Mangkunegaran, sebagai raja setelah ayahnya mangkat dimulai sejak 16 Agustus 1857. Selain sebagai seorang pemimpin, KGPAA Mangkunegara IV dikenal sebagai seorang seniman dan filsuf.
Pada masa pemerintahannya, pihak istana Mangkunegaran menulis kurang lebih 42 buku, diantaranya Serat Tripama, Serat Wedhatama, Serat Darmalaksita atau Serat Darmawasita. Mangkunegara IV juga sempat menerjemahkan salah satu karya Sunda Klasik berjudul Wawacan Panji Wulung karya Raden Haji Muhammad Musa yang ditlis tahun 1862 dan kemudian diterbitkan oleh Landsdrukkerij dalam bentuk buku pada tahun 1931. Selain itu salah satu karya komposisi terkenalnya adalah Ketawang Puspawarna yang turut dikirim ke luar angkasa melalui Piringan Emas Voyager di dalam pesawat antariksa nirawak Voyager I tahun 1977.
Urutan dan Terjemahan Serat Darmawasita
Serat Darmawasita berisi 3 pupuh Sekar Macapat yaitu Dhandhanggula 12 bait, Kinanti 10 bait dan Mijil 20 bait. Secara urut, serat ini berisi tentang wejangan dalam berkehidupan manusia yaitu ajaran mencari jalan kehidupan, ajaran pengabdian suami-istri dan ajaran Wanita yang telah menikah. Berikut terjemahan Serat TDarmawasita yang dikutip dari Dwi Endang Sujati dalam Tesis berjudul “SERAT DARMAWASITA: Suntingan Teks, Telaah Tema, dan Amanat (2010)”.
- PUPUH DHANDHANGGULA
Pupuh 1:
“Mrih sarkara pamardining siwi/ winursita denira manitra// Nujwari Selasa Wage/ triwelas sasi Mulud/ kasanga Dal sengkaleng warsi/ wineling anengaha/ sariranta iku// Mring iki wasitaning wang/ marang sira putrengsun jaler lan estri/ muga padha ngestokna//”
Supaya manis cara mendidik anak, saya (KGPAA Mangkunegara IV) ceriterakan bagaimana saya menulis nasihat pada tanggal 13 hari Selasa Wage, bulan Maulud mangsa ke-9 Dal dengan sengkalan tahun, pesanku untuk anak-anakku, laki-laki maupun perempuan, harap semuanya memperhatikan nasihatku.
Pupuh 2:
“Rehne sira wus dewasa sami, sumurupa lakoning agesang// Suntuturi kamulane/ manungsa estri jalu/ papantaran denya dumadi// Neng Donya nut agama/ jalu estri dhaup// Mangka kanthining agesang/ lawan kinen marsudi dawakken wiji// Ginawan budidaya//”
Karena kalian sudah sama-sama dewasa, ketahuilah tentang jalan kehidupan, kuberitahu asal mulanya, manusia perempuan dan laki-laki yang tidak berbeda jauh usianya ketika dilahirkan melangsungkan perkawinan menurut kaidah agama, hidup bersama saling menemani dan berusaha memperpanjang benih dengan dibekali segala akal budi.
Pupuh 3:
“Yeka mongka srananing dumadi/ tumandhuke marang saniskara// Manungsa apa kajate/ sinembadan sakayun// Yen dumunung mring wolungwarni/ ingaran asthagina// Iku tegesipun/ wolung pedah tumrapira// Marang janma margane mrih sandhang bukti// Kang dhingin winicara//”
Sebagai sarana hidup, berlakunya segala sesuatu yang sesuai dengan maksud dan kehendak manusia, semua kehendak tercapai jika berpedoman pada delapan ajaran yang dinamakan asthagina, yang artinya delapan manfaat bagi manusia untuk mencari jalan kehidupannya. Ajaran pertama yang dibicarakan adalah.
Pupuh 4:
“Panggaotan gelaring pambudi/ warna-warna sakaconggahira/ nuting jaman kalakone// Rigen ping kalihipun/ dadi pamrih marang pakolih// Katri gemi garapnya/ margane mrih cukup// Papat nastiti papriksa/ iku dadi margane weruhing pasthi// Lima wruh etung ika/”
Pekerjaan sebagai upaya akal budi itu bermacam-macam sesuai dengan kemampuanmu serta sesuai jamannya. Yang kedua, engkau harus tertib untuk mendapat hasil. Yang ketiga, berhematlah dalam menggunakan uang agar hidupmu dalam kecukupan. Yang keempat, periksalah dengan teliti untuk mengetahui kepastian, Yang kelima, mengetahui perhitungan.
Pupuh 5:
“Watek adoh mring butuh sahari// Kaping nenem taberi tatanya/ ngundhakken marang kawruhe// Ping pitu nyegah kayun/ pepenginan kang tanpa kardi/ tan boros marang arta/ sugih watekipun// Ping wolu nemen ing sedya, watekira sarwa glis ingkangkinapti// Yen bisa kang mangkana//”
Sifat jauh dari kebutuhan keseharian. Keenam, rajin dalam bertanya guna meningkatkan pengetahuan. Yang ketujuh, mengendalikan kehendak dari keinginan yang tidak berguna, tidak boros dalam keuangan serta berwatak kaya. Kedelapan, mempunyai kemauan yang keras dan mempunyai watak serba cepat dalam mengerjakan sesuatu.
Pupuh 6:
“Angadohken durtaning kang ati/ nyedhakken rahayuning badan/ den andel mring sesamane// Lan malih wekasingsun/ aja tuman utan lan silih// Anyudakken derajat/ camah wekasipun// Kasoran prabawanira/ mring kang potang lawan kangsira silih/ nyatane angrerepa//”
Menjauhkan diri dari rasa iri, mendekatkan pada keselamatan badan, dan dapat dipercaya sesamamu. Janganlah membiasakan berhutang dan meminjam karena akan mengurangi harga diri, mendapat malu akhirnya dan kalah kewibawaanmu terhadap yang menghutangi dan meminjamimu, kenyataannya minta dikasihani.
Pupuh 7:
“Luwih lara laraning kang ati/ ora kaya wong tininggal arta// Kang wus ilang piyandele/ lipure mung yen turu/ lamun tangi sungkawa malih// Yaiku ukumira/ wong nglirwakken tuduh/ ingkang aran budidaya// Temah papa asor denira dumadi/ tan amor lan sasama//”
Lebih sakit sakitnya hati, tidak seperti orang yang tidak mempunyai uang, yang sudah hilang rasa percaya dirinya. Terhibur pada waktu tidur dan setelah bangun akan bersusah lagi. Itulah hukuman bagi orang yang tidak menuruti nasihat yang disebut budi dan akal, sehingga hina rendah dalam kehidupannya serta akan dijauhi oleh sesama.
Pupuh 8:
“Kaduwunge saya angranuhi/ sanalika kadi suduk jiwa/ enget mring kaluputane// Yen kena putraningsun/ aja kadi kang wus winuni// Dupeh wus darbe sira/ panic pancen cukup/ becik linawan gaota// Kang supaya kayumananing duamdi/ manulak mring sangsaya//”
Penyesalan yang semakin menjadi-jadi, seketika seperti hendak bunuh diri karena ingat kesalahannya. Kalau dapat putraku, janganlah terjadi seperti itu. Mentang-mentang engkau sudah memiliki segalanya, persediaan yang cukup, lebih baik bekerja supaya hidupnya terlindungi, terhindar dari kesengsaraan.
Pupuh 9:
“Rambah malih wasitaning siwi/ kawikana patraping agesang// Kang kanggo ing salawase/ manising netya luruh/ angedohken mring salah tampi// Wong kang trapsileng tata/ tan agawe rengu// Wicara lus kang mardawa/ iku datan kasendhu marang sasami/ wong kang rumaket ika//”
Ada lagi nasihat anakku, ketahuilah akan tingkah laku. hidup. Yang untuk selama-lamanya, berhati manis dan halus serta menjauhkan dari kesalahfahaman, Orang yang bertingkah laku sopan tidak akan membuat marah. Bicaralah halus dan menyenangkan agar tidak menyinggung perasaan sesamamu, orang yang akrab itu.
Pupuh 10:
“Karya resep mring rewange linggih/ wong kang manut mring caraning bangsa/ watekjembar pasabane// Wong andhap asor iku/ yekti oleh panganggep becik// Wong meneng iku nyata/ neng jaban pakewuh// Wong aprasaja solahira/ iku ora gawe ewa kang ningali// Wong nganggo tepanira//”
Berbuatlah yang menyenangkan teman akrabmu. Orang yang menuruti aturan bangsanya, yang luas pergaulannya serta orang yang suka merendahkan diri itu selalu memperoleh anggapan baik. Orang pendiam itu nyata berada diluar kesulitan. Orang yang bertingkah laku bersahaja itu tidak akan membuat iri hati kepada orang yang melihatnya karena memakai tenggang rasa.
Pupuh 11:
“Angedohken mring dosa sayekti// Wong kang enget iku watekira/ adoh marang bilahine// Mangkana sulangipun/ wong kang amrih arjaning dhiri// Yeku pangolahira/ batin lahiripun// Ing lahir grebaning basa/ yeka aran kalakuwan ingkang becik/ margane mring utama//”
Menjauhkan diri dari dosa sejati dan selalu ingat, akan jauh dari bahaya. Demikianlah persoalannya, orang yang ingin mempunyai keselamatan diri itulah cara mengolahnya, dalam lahirnya tercermin tingkah lakunya yang baik, jalannya menuju kepada keutamaan.
Pupuh 12:
“Pepuntone nggonira dumadi/ ngugemana mring catur upaya/ mrih tan bingung pamundhine// Kang dhingin wekasingsun/ anirua marang kang becik// Kapindho anuruta/ mring kang bener iku// Katri ngguguwa kang nyata// Kaping pate miliha ingkang pakolih/ fafi kanthi neng ndonya//”
Kesimpulan dari ada kalian di dunia, taatilah empat upaya, supaya tidak bingung kalian memilihnya. Pesan saya yang pertama tirulah yang baik, kedua turutilah yang benar, ketiga percayalah pada yang nyata, keempat pilihlah yang bermanfaat, semuanya itu jadi pegangan di dunia.
- PUPUH KINANTHI
Pupuh 1:
“Dene wulang kang dumunung/ pasuwitan jalu estri// Lamun sregep watekira/ tan karya fela kang nuding// Pethel iku datan dadya/ jalaran duka sayekti//”
Adapun ajaran yang berkenaan dengan pengabdian suami istri jika berwatak rajin, tidak membuat kecewa yang menyuruh, suka bekerja dengan sungguh-sungguh.
Pupuh 2:
“Tegen iku watekipun, akarya lega kang nuding// Wekel margining pitaya// Dene ta pangati-ati/ angedohken kaluputan// Iku margane lestari//”
Bekerjalah dengan tekun agar membuat senang yang menyuruh. Bekerjalah dengan sungguh-sungguh agar dapat dipercaya. Bekerjalah dengan hati-hati dan jauhkanlah dari kesalahan. Itulah yang akan lestari.
Pupuh 3:
“Lawan malih wulangipun/ margining wong kanggep nglaki// Dudu guna japa mantra/ pellet dhuyung sarat dhesti// Dumunung neng patrapira/ kadi kang winahya iki//”
Ajaran yang lainnya, yang membuat seseorang dihargai oleh laki-laki, bukanlah karena mantra-mantra atau pemikat halus sebagai sarana untuk mencapai tujuan, melainkan ada dalam tingkah lakumu, seperti yang dinyatakan berikut ini.
Pupuh 4:
“Wong wadon kalamun manut/ yekti rinemenan nglaki// Miturut margining welas// Mituhu margining asih// Mantep margining tresna// Yen temen den andel nglaki”
Kalau perempuan itu menurut, sungguh-sungguh akan disenangi suami. Menurut menyebabkan sayang, mentaati perintah menimbulkan kasih dan sungguh-sungguh mewujudkan cinta. Kalau jujur akan dipercaya suami.
Pupuh 5:
“Dudu pangkat dudu turun/ dudu brana lawan warni// Ugere wong pada krama/ wruhanta dhuh anak mami// Mung nurut nyondhongi karsa/ rumeksa kalayan wadi//”
Ketahuilah wahai anakku, persyaratan dalam perkawinan bukan pangkat, bukan keturunan, juga bukan kekayaan dan rupa, melainkan menurut dan mendukung kehendak (suami) dan menjaga dengan rahasia.
Pupuh 6:
“Basa nurut karepipun/ apa sapakoning laki/ ingkang wajib lineksanan// Tan suwala lan baribin// Lejaring netya saranta/ tur rampung tan pindho kardi//”
Menurut artinya apa pun yang diperintah lelaki wajib dilaksanakan, tidak suka membantah dan mengulur-ulur waktu, senang menyelesaikan pekerjaan secepatnya, dan pekerjaan selesai tanpa pengulangan kedua kali.
Pupuh 7:
“Dene condhong tegesipun, ngrujuki karsaning laki// Saniskara solah bawa/ tan nyatur nyampah maoni// Apa kang lagi rinenan/ openana kang gumati//”
Sedangkan yang dimaksud dengan setuju adalah menyetujui apa pun yang dikehendaki suami. Terhadap segala tingkah lakunya, bertanyalah tanpa mencela apa yang sedang menjadi kegemarannya, dan rawatlah sebaik-baiknya.
Pupuh 8:
“Wong rumekso dunungipun/ sabarang darbeking laki/ miwah sariraning Priya// Kang wajib sira kawruhi/ wujud warna cacahira/ endi bubuhaning estri//”
Orang menjaga artinya orang yang suka merawat segala kepunyaan suami sekaligus badannya, yang wajib engkau ketahui adalah bentuk, warna dan jumlahnya, serta mana yang dimiliki istri.
Pupuh 9:
“Wruha sangkan paranipun, pangrumate den nastiti// Apa dene guna kaya/ tumanjane den patitis// Karana bangsaning arta/ iku jiwa dereng lair//”
Ketahuilah asal-usulnya dan rawatlah dengan teliti. Juga ibarat harta kekayaannya, pergunakanlah dengan tepat. Karena yang namanya harta, itu ibarat sukma belum nyata.
Pupuh 10:
“Basa wadi wantahipun/ solah bawa kang piningit// yen kslsir dadya ala/ saru tuwin anglingsemi// Marma sira den abisa/ nyimpen wadi ywa kawijil//”
Bahasa rahasia artinya, tingkah laku yang tersembunyi yang kalau diketahui orang menjadi jelek, tidak senonoh dan memalukan, maka hendaklah engkau dapat menyimpan rahasia, jangan sampai diketahui orang lain.
- PUPUH MIJIL
Pupuh 1:
“Wulang estri kang wus palak rami/ lamun pinitados/ amengkoni mring bale wismane/ among putra maru sentanabdi// Den angati-ati/ in sadurungipun//”
Ajaran untuk wanita yang telah menikah. Hendaklah dapat dipercaya dan berhati-hatilah dalam mengatur rumah tangganya, mengasuh anak, madu, dan abdi.
Pupuh 2:
“Tinampanan waspadakna dhingin/ solah bawaning wong/ ingkang bakal winengku dheweke// Miwah watak pambekane sami/ sinuksma ing batin/ sarta dipun wanuh//”
Terimalah dan waspadailah dulu, tingkah laku seseorang yang akan diperistrinya, termasuk watak kebiasaannya yang jelek. Perhatikanlah sedalam-dalamnya serta kenalilah.
Pupuh 3:
“Lan takokna padatan ingkang wis/ caraning lelakon// Miwah apa saru sesikune/ sesirikan kang tan den remeni// Rungokena dhingin/ dadi tan pakewuh//”
Dan tanyakan kebiasaannya yang sudah-sudah, cara kehidupannya termasuk hal-hal yang tidak disukainya, semua pantangan dan yang tidak disukainya. Dengarkanlah dahulu agar tidak menimbulkan kesulitan
Pupuh 4:
“Tumpraping reh pamandumingwanci/ tatane ing kono// Umatura dhingin mring priyane/ yen pinujuno ing asepi// Ywa kongsi baribin/ saru yen rinungu//”
Sesuai dengan pengaturan waktu yang berlaku di situ, bicarakanlah dahulu dengan suami di kala waktu senggang, jangan sampai terjadi kesalahfahaman sebab memalukan kalua terdengar.
Pupuh 5:
“Mbokmanawa lingsem temah runtik/ dadi tan pantuk don// Dene lamun ingulap netyane/ datan rengu lilih ing penggalih/ bajurna denangling/ lawan tembung alus//”
Mungkin malu sehingga hatinya marah, menjadi tidak seperti tujuannya atau tidak berkenan dihatinya. Jika tidak kecewa dan berkenan dihatinya, teruskan pembicaraanmu dengan perkataan yang halus.
Pupuh 6:
“Anyuwun wulang wewalere, nggonira lelados// Lawan endi kang den wenangake/ marang sira wajibing pawestri// Anggonen salami/ dimen aja padu//”
Mintalah petunjuk aturannya di dalam engkau melayani, mana yang diperbolehkan dan yang tidak dalam engkau menjalankan kewajiban sebagai istri. Pergunakan hal ini selamanya agar tidak terjadi pertengkaran.
Pupuh 7:
“Awit wruha kukume jeng Nabi/ kalamun wong wadon/ ora wenang andhaku darbeke/ Priya lamun during den lilani// Mangkono wong laki/ tan wenang andhaku//”
Karena ketahuilah hukumnya Nabi, kalau seorang wanita tidak berwenang mengakui kepemilikannya, kalau priya belum mengijinkan, demikianlah orang bersuami tidak berwenang mengakui barang itu sebagai miliknya.
Pupuh 8:
“Mring gawane wong wadon kangasli// Tan kena denemor/ lamun during ana palilahe// Yen sajroning salaki Sarabi/ wimbuh rajatadi/ iku jenengipun//”
Harta bawaan orang wanita yang asli tidak boleh dicampur sebelum ada izin. Bila dalam perkawinan kekayaan bertambah, itu namanya.
Pupuh 9:
“Gana gini pada andarbeni/ lanang lawan wadon// Wit sangkane saka sakarone/ nging wewenang isih aneng laki// Marma ywa gagampil/ rajatadi mau//”
Gana-gini, harta yang diperoleh sejak menikah dimiliki secara bersama-sama, suami dan istri. Karena harta itu datangnya dari mereka berdua tetapi yang berhak adalah suami, oleh karena itu jangan engkau meremehkan kekayaan tadi.
Pupuh 10:
“Gana gini ekral kang njageni/ sadumung wong wadon/ kang rong duman wong lanang kang darbe// Lamun duwe anak jalu estri/ bapa kang wenehi/ sandhang panganpun//”
Harta yang diperoleh sejak menikah merupakan harta yang harus dijaga dengan sungguh-sungguh, yang sebagian dilimpahkan untuk isteri dan yang dua bagian untuk sang suami. Tetapi apabila mereka memiliki anak laki-laki dan perempuan, bapak yang memberi nafkah (sandang pangan) kepada mereka.
Pupuh 11:
“Pamo pegat mati tuwin urip/ nggonira jejodhon/ iku ora sun tutur kukume/ wewenange ana ing sarimbit// Ing mengke mbaleni/ tuturingsun mau//”
Tetapi apabila cerai, baik mati atau hidup, dalam engkau berumah tangga, tidak kuberitahu peraturannya, kewenangan ada pada mereka berdua. Di dalam nanti kembali lagi, nasihatku tadi.
Pupuh 12:
“Yen wus sira winulang wineling/ wewalere condhong// Lan priyanta ing bab pamengkune/ bale-wisma putra maru abdi/ lawan rajatadi/ miwah kayanipun//”
Setelah engkau diajari nasihat dan setuju dengan peraturan dari suamimu dalam hal mengemudikan rumah tangga, memperlakukan anak, madu, abdi dan kekayaan, juga penghasilannya.
Pupuh 13:
“Iku lagi tampanana nuli/ kang nastiti batos/ tinulisan apa saanane// Tadhah putra selir santanabdi/ miwah rajatadi/ kagunganing kakung//”
Semua itu terimalah dengan seksama, telitilah dan tuliskan apa adanya. Juga anak, selir, dan para abdi dengan kekayaan kepunyaan lelaki.
Pupuh 14:
“Yen wus slesih gonira nampani/ sarta wis waspaos/ aturane laying pratelane// Mring priyanta paran ingkan kapti/ ngentenana malih/ mring pangatagipun//”
Setelah dengan jelas engkau menerimanya serta sudah waspada, haturkanlah surat pemberitahuan kepada suamimu tentang pekerjaan itu. Tunggulah kembali kepada perintahnnya..
Pupuh 15:
“Kamg supaya aja den arani/ wong wadon sumangguh/bokmanawa gela ing batine// Beci kapa ginrayangan melik/ mring mayaning laki/ tan yogya satuhu//”
Agar supaya jangan dituduh sebagai wanita sombong, mungkin kecewa dalam batinnya, lebih baik rabalah hatinya pada penghasilan lelaki yang patut senyatanya.
Pupuh 16:
“Ing nadyan lakinira becik/ momong mring wong wadon/ wekanana kang mrina liyane// Jer manugnsa datan nunggil kapti/ ana ala becik/ ing panemunipun//”
Walaupun suamimu baik dapat ngemong wanita, ketahuilah sifat-sifatnya yang lain. Karena sebagai manusia tidak akan selalu sama keinginannya, ada jelek baiknya dalam pendapatnya.
Pupuh 17:
“Lamun kinen banjur ambawani/ ywa age rumengkoh// Lulusena lir mau-maune/ aja nyuda aja amuwuhi// Tampanana batin/ ngajarna awakmu//”
Kalau kemudian disuruh mengurusi, janganlah cepat-cepat menyanggupi. Luluskanlah seperti sedia kala, jangan mengurangi, jangan menambahi. Terimalah dalam batin, belajarlah dengan tulus.
Pupuh 18:
“Endi ingkang pinitayan Nguni/ amengku ing kono/ lestarekna ywa lirip atine// Slondhohana lelipuren ing sih/ mrih trimaning ati/ kena sira tantun//”
Mana yang dapat dipercaya dulu, yang akan memiliki di situ, lestarikan agar tidak hatinya. Ajaklah bicara, hiburkanlah dengan penuh kasih sayang agar hatinya dapat menerima dan dapat engkau bimbing.
Pupuh 19:
“Yen wus cukup acukup pikiring/ wong sajroning piandele/ marang sira ora walang ati/ iku sira lagi/ ngetrap pranatanmu//”
Setelah setuju dan cakap pemikirannya, orang di dalamnya sana dan sudah percaya kepadamu tanpa ragu-ragu, itu engkau baru menerapkan peraturanmu,
Pupuh 20:
“Wewatone nyongga sandhang/ nganakken kaprabon/ jalu estri supangkat pangkate/ iku saking pametu sesasi/ utawa sawarsi/ para gunggungipun//”
Kuncinya mengatur kebutuhan sehari-hari dalam menyelenggarakan rumah tangga, suami istri sepakat mengatur pengeluaran dari penghasilan sebulan atau setahun berapa pun jumlahnya.
Isi dan Ajaran Serat Darmawasita
Serat Darmawasita terdiri dari tiga seka macapat yaitu Dhandhanggula, Kinanthi, dan Mijil. Secara eksplisit, serat Darmawasista berisi ajaran-ajaran dalam pembentukan karakter manusia, baik itu generasi muda maupun bangsa. Beberapa ajaran pada serat ini dapat yaitu: 1) Pupuh Dhandhanggula terdapat pembahasan mengenai ajaran astaghina yang ebrisi ajran bagi amusia dalam emncari jalankehiduaonnya, 2) pupuh Kinanthi terdapat ajaran emngenai pengabdian suami-sitri, dan 3) Pupuh Mijil lebih condong ajaran abgi Wanita yang ebrumah tangga.