Serat Tripama: Pengertian, Terjemahan, dan Amanatnya

Berisi Keteladan Nasionalisme

Serat Tripama merupakan karya sastra berubah tembang macapat yang dikarang oleh KGPAA Mangkunegara IV. Serat Tripama masuk pada kategori karya sastra Jawa Baru yang muncul setelah masuknya agama Islam di Pulau Jawa antara abad 15-16 masehi. Serat ini hanya memiliki satu pupuh yaitu Dhandanggula yang berisi 7 bait.

serat-tripama
Serat Tripama karya KGGPA Mangkunegara IV

Serat Tripama berisi ajaran nilai-nilai leluhur dari tiga tokoh pewayangan yaitu Patih Suwanda, Raden Kumbakarna, dan Adipati Karna. Secara mendasar ketiga tokoh tersebut memiliki kesamaan karakter yaitu sikap nasionalisme atau cinta terhadap tanah airnya. Meskipun caranya berbeda, ketiga tokoh tersebut dapat dijadikan teladan dalam pendidikan karakter dan menumbuhkan rasa nasionalisme.

Pengertian Serat Tripama

Serat Tripama merupakan karya sastra berbentuk tembang macapat berbentuk Dhandanggula yang berjumlah tujuh pupuh (bait). Kata Tripama berasal dari gabungan dari kata “Tri” yang berarti tiga dan “umpama” yaitu perumpamaan, yang merujuk pada kisah tiga tokoh dalam pewayangan yaitu Patih Suwanda dari Maespati, Kumbakarna dari Negeri Alengka, dan Adipati Karna dari Awangga. Serat Tripama muncul pada zaman Mangkunegaran yang diciptakan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV (KGPAA Mangkunegara IV) di Surakarta. Serat ini pertama kali diterbitkan dalam kumpulan karya Mangkunegara IV jilid III tahun 1927. Serat Tripama berisi ajaran keprajuritan dari tiga tokoh pewayangan yang ditampilkan sebagai teladan keprajuritan, yaitu Patih Suwanda, Raden Kumbakarna, dan Raden Basukarna/Adipati Karno.

Siapa Pembuat Serat Tripama

Serat Tripama dibuat oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IV. KGPAA Mangkunegara IV merupakan putra ketujuh dari Pangeran Hadiwijaya I dan Bandara Raden Ajeng Sekeli (Putri Mangkunegara II). Mangkunegara IV lahir di Surakarta 1 Safar Jumadil Akhir 1736 jawa (3 Maret 1809 masehi).

Raden Mas Sudira adalah nama kecil dari KGPAA Mangkunegara IV, dimana berusia belia diyakini memiliki kelebihan dan dijuluki sebagai pujangga linuwih.. Beberapa jabatan yang pernah dijabat Mangkunegara IV yaitu prajurit Legiun Mangkunegaran, ajudan sekaligus Mahapatih urusan ndalem Praja Mangkunegaran, sebagai raja setelah ayahnya mangkat dimulai sejak 16 Agustus 1857. Selain sebagai seorang pemimpin, KGPAA Mangkunegara IV dikenal sebagai seorang seniman dan filsuf.

Pada masa pemerintahannya, pihak istana Mangkunegaran menulis kurang lebih 42 buku, diantaranya Serat Tripama, Serat Wedhatama, Serat Darmalaksita dan Serat Darmawasita. Mangkunegara IV juga sempat menerjemahkan salah satu karya Sunda Klasik berjudul Wawacan Panji Wulung karya Raden Haji Muhammad Musa yang ditlis tahun 1862 dan kemudian diterbitkan oleh Landsdrukkerij dalam bentuk buku pada tahun 1931. Selain itu salah satu karya komposisi terkenalnya adalah Ketawang Puspawarna yang turut dikirim ke luar angkasa melalui Piringan Emas Voyager di dalam pesawat antariksa nirawak Voyager I tahun 1977.

Urutan dan Terjemahan Serat Tripama

Serat Tripama hanya berisi 7 pupuh dalam bentuk tembang macapat Dhandanggula. Secara urut serat ini berisi kisah keteladanan terhadap tiga tokoh pewayangan yaitu Patih Suwanda, dan Kumbakarna, Adipati Karna. Berikut terjemahan Serat Tripama yang dikutip dari Sigit Nugroho dalam jurnal “Nilai-nilai Budi Pekerti Dalam Serat Tripama Karya Mangkunegara IV Sebagai Sarana Pendidikan Karakter (2020”.

Pupuh 1:

“Yogyanira kang para prajurit/ lamun bisa sira anulada/ duk ing nguni caritane/ adelira sang Prabu/ Sasrabahu ing Maespati/ aran Patih Suwanda/ lalabuhanipun/ kang ginelung tri prakara/ guna kaya purune kang den antepi/ nuhoni trah utama//”

Sebaiknya bagi prajurit, sedapat mungkin kamu meniru, seperti cerita masa lalu, )tentang) andalan sang Prabu, Sasrabahu di Maespati, bernama Patih Suwanda, (atas) jasa-jasa pengabdiannya, yang dipadukan dalam tiga hal, (yakni) kepandaian penghasilan dan keberanian (itulah) yang ditekuninya, menepati sifat keturunan (orang) utama.

Pupuh 2:

“Lire lalabuhan tri prakawis/ guna bisa saneskareng karya/ binudi dadya unggule/ kaya sayektinipun/ duk bantu prang Manggada nagri/ amboyong putri dhomas/ katur ratunipun/ purune sampun tetela/ aprang tandhing lan ditya Ngalengka nagri/ Suwanda mati ngrana//”

Arti jasa bakti yang tiga macam itu, Pandai mampu di dalam segala pekerjaan, diusahakan memenangkannya, penghasilan sesungguhnya, waktu membantu perang negeri Manggada, memboyong delapan ratus orang puteri, dipersembahkan kepada rajanya, (tentang) keberaniannya sudah jelas, Perang tanding melawan raja raksasa Ngalengka, (Patih) Suwanda gugur dalam perang.

Pupuh 3:

Wonten malih tuladan prayogi/ satriya gung nagri ing Ngalengka/ sang Kumbakarna arane/ tur iku warna diyu/ suprandene gayuh utami/ duk wiwit prang Ngalengka/ dennya darbe atur/ mring raka amrih raharja/ Dasamuka tan keguh ing atur yekti/ dene mungsuh wanara//”

Ada lagi teladan yang baik, Satria besar negeri Ngalengka, Sang Kumbakarna namanya, padahal (ia) berwujud raksasa, namun begitu (ia) berusaha meraih keutamaan, sejak mulai perang Ngalengka (melawan Sri Ramawijaya), ia memiliki pendapat, kepada kakandanya supaya tenteram, (tetapi) Dasamuka tak tergoyahkan oleh pendapat baik, Karena hanya melawan kera.

Pupuh 4:

Kumbakarna kinon mengsah jurit/ mring kang raka sira tan lenggana/ nglungguhi kasatriyane/ ing tekad tan asurud/ among cipta labuh nagari/ lan nolih yayah rena/ myang luluhuripun/ wus mukti aneng Ngalengka/ mangke arsa rinusak ing bala kapi/ punagi mati ngrana//

Kumbakaran diperintah maju perang, Oleh kakandanya ia tidak menolak, Menepati (hakekat) kesatriaannya, (sebenarnya) dalam tekadnya (ia) tidak surut, hanya untuk membela negara, serta mengingat ayah-bundanya, dan para leluhurnya, telah hidup nikmat di negeri Ngalengka, sekarang akan dirusak oleh barisan kera, (kumbakarna) bersumpah mati dalam perang.

Pupuh 5:

Wonten malih kinarya palupi/ suryaputra nerpati awongga/ lan pandhawa tur kadange/ len yayah tunggil ibu/ suwita mring Sri Kurupati/ aneng nagri Ngastina/ kinarya gul-agul/ manggala golonganing prang/ Bratayuda ingadegken senapati/ ngalaga ing kurawa//

Ada lagi untuk dijadikan teladan, Suryaputera raja Ngawangga, Dengan Pandawa (ia) adalah saudaranya, Berlainan ayah tunggal ibu, (ia) mengabdi kepada Sri Kurupati, Dijadikan andalan, Panglima di dalam perang Bratayuda, (ia) diangkat menjadi senapati, Perang di pihak Korawa.

Pupuh 6:

Den mungsuhken kadange pribadi/ aprang tandhing lan sang Dananjaya/ Sri Karna suka manahe/ de sarira pikantuk/ marga dennya arsa males sih/ ira sang Duryudana/ marmanta kalangkung/ dennya ngetog kasudiran/ aprang rame karna mati jinemparing/ sumbaga wirotama//

Dihadapkan dengan saudaranya sendiri, perang tanding melawan Dananjaya, Sri Karna suka hatinya, karena (dengan demikian) ia memperoleh jalan untuk membalas cinta kasih, Sang Duryudana, maka ia dengan bangga, Mencurahkan segala keberaniannya, berperang seru Karna mati dipanah (musuhnya), (akhirnya ia) mashur sebagai perwira utama.

Pupuh 7:

Katri mangka sudarsaneng Jawi/ pantes sagung kang para prawira/ amirita sakadare/ ing lalabuhanipun/ haywa kongsi buwang palupi/ menawa tibeng nistha/ ina esthinipun/ sanadyan tekading buda/ tan prabeda budi panduming dumadi/ marsudi ing kotaman//

Ketiga (pahlawan tersebut) sebagai teladan orang Jawa, sepantasnyalah semua para perwira, mengambilnya sebagai teladan seperlunya, (yakni) mengenai jasa-bakti-nya, Janganlah sampai membuang teladan, Kalau-kalau jatuh dalam hina, Rendah cita-citanya, Meskipun tekad besar, Tidaklah berbeda usaha menurut takdirnya (sebagai) makhluk, Berusaha meraih keutamaan.

Isi dan Amanat Serat Tripama

Secara singkat, Serat Tripama berisi tiga kisah keteladan mengenai cinta tanah air dari tokoh pewayangan yaitu Patih Suwanda, Kumbakarna, dan Adipati Karna. Ketiga tokoh pewayangan tersebut memiliki karakter yang dapat ditiru dalam konsep pendidikan karakter dalam menumbuhkan rasa nasionalisme atau cinta tanah air. Jika ditarik kesimpulan, hal yang dapat ditiru dari karakter wayah tersebut yait: 1) Patih Suwanda memiliki karakter setia kepada perintah dan rela berkorban jiwa dan raga, 2) Raden Kumbakarna dengan karakter membela kehormatan bangsa dan cinta tanah air. Dan 3) Adipati Karna dengan karakter seseorang yang sadar untuk membalas budi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *