Meneladani julukan “JOKO PRING” Sosrokartono, dalam konsep anak muda jaman sekarang.

sumber : Facebook pmii Komisariat Ad-Dakhil

Secara harfiah, joko bermakna orang yang belum menikah atau bujang, serta mempunyai gairah semangat tinggi dalam belajar. Pring berasal dari bahasa jawa yang artinya bambu. Sehingga makna sederhana dari joko pring adalah bambu yang bujang.

Bambu mempunyai filosofi yang begitu dalam. Seluruh bagian pohon ini dapat di manfaatkan manusia. Mulai dari akar, batang, ranting, daun, hingga tunasnya atau rebung dapat di jadikan hidangan lezat. Bambu bermacam-macam jenisnya dan berkarakter beda-beda.

“Pring padha pring; weruh padha weruh; eleng tanpa nyandhing, susah padha susah; seneng padha seneng; eleng padha eleng; pring padha pring,” tutur Dr. H. Fahruddin Faiz, S.Ag., M.Ag. menirukan ungkapan sosrokartono. Artinya Meskipun tidak dalam kondisi sama, akan tetapi kita harus tetap ingat. Bahwa kita ini manusia, manusia harus mengerti satu sama lain. Senang, susah, tetap saling mengingatkan untuk kebaikan.

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa setiap manusia itu memiliki karakter. Setiap orang di ciptakan dalam kebermanfaatan. Sehingga tidak ada manusia yang di ciptakan tanpa memiliki keduanya. Apapun jenis, warna, fungsi dan bentuknya tetap bambu. Artinya dari banyaknya keberagaman suku, ras, etnis, budaya dan agama manusia tetap manusia.

Manusia itu berbeda-beda, tetapi hakikatnya tetap manusia. seperti halnya bhinneka tunggal Ika. Bambu murni punya karakter berbeda seperti halnya manusia. Akan tetapi anak muda sekarang jarang tau akan jatidirinya dirinya. Lebih-lebih malu, bahkan kerap menyepelekan bijaksananya orang dulu. Padahal budaya orang jaman dalu itu luhur.

Hari ini anak muda harus lebih semangat dalam belajar. Belajar dan terus belajar anak muda harus mencari jatidirinya. Bukan bermalas-malasan. Bahkan lupa dengan identitas dan pencarian jatidirinya. Anak muda jaman sekarang sibuk di mainkan game, bukan bermain game sebagai hiburan semata. Yang seharusnya banyak waktu di habiskan untuk belajar, akan tetapi malah sebaliknya.

Penulis pernah diskusi dengan orang yang kurang mengenyam pendidikan formal tetapi melek literasi. Beliau mengatakan dalam bahasa jawa bahwa, “mahasiswa sak iki ngumpul malah dolanan game ora diskusi” artinya mahasiswa sekarang berkumpul malah sibuk bermain game bukan diskusi. Ada tempat untuk sendiri untuk mengembangkan e-sport, konten kreator, pro player dsb. Dari kalangan mahasiswa saja yang katanya terpelajar malah mencontohkan hal tidak baik. Bagaimana tentang nasib masa depan bangsa ini ketika orang tua sudah saatnya pensiun dan diganti anak muda ruwet yang apatis dengan kelangsungan hidup bangsanya.

Menurut penulis, justru dengan adanya digitalisasi ini membuka pola pikir anak muda menjadi kaya dan luas. Karna belajar apapun jadi mudah. buku/e-book, vidio, berita, artikel mudah di dapatkan. Apalagi mayoritas masyarakat Indonesia punya smartphone dan pecandu media sosial. Informasi di atas mudah di akses bahkan tinggal klik untuk tau keadaan di ujung dunia. Supaya pendasaran dirinya kuat dan tidak mudah di bohongi oleh bangsa asing, budaya literasi anak muda yang tergerus oleh digitalisasi praktis yang berdampak pada pola pikir, seperti judi online, pinjol, nft dsb. Padahal anak muda itu identik energik dan semangat dalam berproses.

Jika ada yang tidak sesuai dengan stetement di atas, itu merupakan bagian kecil dari anak muda yang sadar akan jatidirinya. Penulis hanya masuk dalam kesadaran realita masyarakat. Hari ini anak muda harus mencontoh hal baik dari sostrokartono terutama kebijaksanaannya. Sadarlah pembaca adalah calon penerus bangsa. Pundakmu dari sekarang harus di latih untuk terbiasa mengangkat beban kebijaksanaan. Menjadi negarawan, agamawan, ilmuan dan sebagainya atau paling tidak jadi masyarakat yang sadar, melek dan peduli akan sosialnya. Tugas orang terpelajar hanya satu, yaitu disiplin ilmu di satu bidang yang radikal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *